Minggu, 09 November 2014
Tradisi Mengerikan Suku Naulu : Persembahan Kepala Manusia
Suku Naulu yang hidup di Petuanan Negeri sepa, merupakan salah satu suku
terasing di Pulau Seram, tepatnya di Dusun Bonara, yang berjarak 35 km2
dari Pusat kota Kecamatan. Tradisi suku ini sama dengan suku wuahulu di
Kecamatan Seram Utara. Tradisi Penamou dan pataheri juga menjadi
tradisi suku Naulu.
Tradisi Pataheri, yaitu upacara adat bagi pria yang sudah dewasa, dimana
pria tersebut harus mengenakan cidaku (celana pendek) dan ikat kepala,
tetapi ikat kepala suku ini berwarna merah/berang. Berbeda dengan ikat
kepala suku Wuahulu di kecamatan Seram Utara. Upacara adat ini
berlangsung selama 1 bulan, sedangkan pria dewasa tadi harus mengenakan
cidaku dan berang selama lima hari, serta tidak diperbolehkan
menggunakan pedang/parang untuk kebutuhan apapun. Tradisi Penamou, yaitu
bagi wanita yang datang bulan/haid, pertanda telah memasuki usia dewasa
sehingga harus dikarantinakan dan tidak berkomunikasi dengan
lingkungannya, demikian halnya bagi wanita yang mengandung. Wanita
dewasa ini akan dikarantinakan pada rumah kecil (2 x 2 m2) berdinding
atap daun rumbia, dan berlantai tanah. Pada saat upacara penamou
dilakukan, dilarang untuk dilewati/disinggahi oleh lelaki.
Tradisi ini tetap eksis hingga kini. Rumah karantina ini di sebut :
Posune. Kalau di Daerah Denpasar (Bali), tradisi pemakaman dengan cara
mayatnya diletakkan pada susunan kayu setinggi (1 m2) dari Lantai
kemudian mayat tersebut di bakar (Ngaben), maka tradisi pemakaman Suku
Naulu ini agak berbeda, dimana mayat yang diletakkan pada susunan kayu
yang tingginya (2 m2) itu, tetapi mayat tersebut tidak di bakar,
melainkan di tinggalkan. Tempat pemakaman seperti ini letaknya di dalam
hutan yang jaraknya jauh dari pusat Negeri, serta jarang dikunjungi oleh
masyarakat. Selain itu, prosesi pengantaran mayat ke tempat pamakaman
hanya dilakukan khusus oleh kaum pria.
RITUAL masyarakat adat di tanah Maluku banyak yang menarik untuk
disimak. Selain unik karena sukar ditemukan di daerah lain, prosesi
ritual adat itu masih terus dilestarikan generasi masyarakat adat hingga
datangnya jaman yang serba modern ini.
Dari sekian banyak tradisi masyarakat adat di Maluku, ternyata ada
tradisi masyarakat adat yang terbilang paling enah dan menggerihkan.
Saking ngerinya akhirnya dilarang, lantaran berlawanan dengan hukum.
duniadndromedaku.blogspot.com mengangkat dua tradisi yang dilakoni
masyarakat suku Naulu di Pulau Seram, Provinsi Maluku. Suku terasing di
pedalaman Pulau Seram ini memiliki tradisi yang unik. Yang satunya
terpaksa dilarang karena terbilang cukup sadis, satunya lagi masih terus
terjaga. Dua tradisi itu adalah tradisi memanggal kepala manusia untuk
persembahan kepada rumah adat dan tradisi pengasingan perempuan hamil
dan gadis yang memasuki datang bulan di gubuk kecil.
Persembahan Kepala Manusia
Tradisi memanggal kepala manusia oleh Suku Naulu sudah tidak ditemukan
lagi, setelah dilarang pasca kejadian pembunuhan bermotif persembahan
kepada rumah adat suku tersebut bulan Juli tahun 2005 silam. Sedangkan
tradisi pengasingan perempuan hamil, hingga kini masih terus dilakukan,
namun perlahan juga mulai hilang.
Tradisi adat memotong kepala manusia buat persembahan, oleh masyarakat
Suku Naulu diyakini sebagai kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan
itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena diyakini jika
tidak mendapat kepala manusia buat persembahan bisa mendatangkan bala
atau musibah.
Suku ini sebagian kaum prianya masih menggunakan ikat kepala berwarna
merah sebagai ciri khasnya. Agama yang dianut adalah aliran kepercayaan,
sebagaimana agama para leluhurnya. Kehidupan masyarakatnya yang suka
berburu dan berladang untuk makan itu, membuat sebagain dari suku ini
masih hidup mengembara atau tidak menetap dalam satu perkampungan besar.
Mereka tersebar pada lima lokasi di Pulau Seram dengan dusun
masing-masing Nuane, Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, dan Rohua.
Meski memiliki tradisi yang cukup sadis yakni memenggal kepala manusia
untuk persembahan, namun tidak banyak masyarakat di Pulau Seram yang
mengetahui tradisi tersebut.
Tradisi ini baru tercium khalayak ramai setelah terjadinya kejadian
tahun 2005 lalu. Warga di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah
digegerkan dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah
terpotong-potong bagian tubuhnya. Bonefer Nuniary dan Brusly Lakrane
adalah korban persembahan tradisi Suku Naulu saat akan melakukan ritual
adat memperbaiki rumah adat marga Sounawe. Kepala manusia yang
dikorbankan diyakini akan menjaga rumah adat mereka.
Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya
diasapi adalah jantung, lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh
yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak jauh dari
perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane.
Akibat perbuatannya itu, tiga warga Naulu yang merupakan komunitas adat
tertinggal di Pulau Seram ini divonis hukuman mati oleh majelis hakim di
Pengadilan Negeri Masohi. Mereka adalah Patti Sounawe, Nusy Sounawe,
dan Sekeranane Soumorry. Sementara tiga lainnya divonis hakim hukuman
penjara seumur hidup masing-masing Saniayu Sounawe, Tohonu Somory, dan
Sumon Sounawe. Para pelaku mutilasi ini dinyatakan bersalah melakukan
pembunuhan secara berencana, sebagaimana diatur dalam pasal 340 jo pasal
55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke, mengatakan tindakan yang
dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal
yang berlaku di Indonesia. Motivasi pembunuhan dengan mengambil kepala
manusia dilakukan karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang
dinilai sakral.
“Warga saya tidak tahu kalau membunuh itu hukumannya apa,” terang Sahune kala itu.
Peristiwa pengambilan kepala manusia ini bukan baru pertama kali
terjadi. Sebelumnya pada tahun 1990-an, tiga warga Naulu dari komunitas
Nuane dihukum 17 tahun penjara karena melakukan hal yang sama. Saat itu
korbannya dua orang yang tengah berburu di hutan dibunuh dan diambil
kepalanya untuk ritual adat seperti yang terjadi pada Juli 2005 lalu.
Tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman dulu, saat sering terjadi
perang antar suku di pedalaman Pulau Seram. Dalam kondisi seperti itu
siapa yang kuat dialah yang menang. Bahkan dalam tradisi dulu, seorang
raja yang ingin mengangkat seorang menantu laki-laki, syarat yang
ditetepkan harus heroik. Calon menantu harus menunjukan kejantanannya
dengan mempersembahkan kepala manusia sebagai mas kawin.
Perkampungan Nuane yang didiami 525 keluarga atau sekitar 900 jiwa itu,
hingga kini belum tersentuh pembangunan yang memadai. Padahal tidak jauh
dari perkampungan tersebut atau sekitar dua kilometer terdapat
pemukiman transmigrasi lokal yang baru ada belasan tahun silam.
Pengasingan Perempuan Hamil
Jauh dari dunia pendidikan dipadu dengan kentalnya aturan adat yang
memikat, ternyata makin lengkap dan menambah panjang kehidupan yang
serba gelap bagi suku terasing Naulu. Leluhur dari suku ini bukan saja
mewariskan tradisi memenggal kepala manusia sebagai persembahan. Tradisi
lainnya juga mengasingkan kaum hawa, yang telah hamil dan mendekat
waktu melahirkan momongan.
Biasanya di setiap pemukiman masyarakat suku ini baik yang telah
dimukimkan pihak pemerintah maupun yayasan pembinaan masyarakat terasing
bahkan yang masih hidup mengembara di pedalaman Pulau Seram, kaum
lelakinya membangun gubuk-gubuk kecil yang disebut gubuk pamali atau
dalam bahasa suku ini disebut tikusune.
Gubuk –gubuk ini dibangun sebagai tempat berlindung sementara yang aman
bagi kaum wanita saat mereka menjalani masa haid maupun melahirkan.
Gubuk pamali sebagai tempat mengasingkan diri sementara itu berukuran
2×2 meter berdinding dan beratap daun sagu dilengkapi sebuah tempat
tidur yang disebut tapalang berukuran 1×2 meter.
Suku adat Naulu maupun suku terasing lainnya seperti Hoaulu dan
Yalahatan di Pulau Seram, tikusune yang dibangun tidak boleh ditengok
atau dimasuki kaum pria saat kaum wanita menjalani masa datang bulan
maupun melahirkan.
“Mereka hanya bisa ditengok oleh kaum hawa untuk memberikan makanan dan
keperluan lainnya maupun pelayanan saat melahirkan oleh dukun beranak,”
kata tua adat setempat Touisa Matoke.
Kaum wanita yang mulai merasa tanda-tanda datangnya haid harus segera
meninggalkan rumahnya untuk memasuki gubuk pamali yang telah disiapkan
dan tinggal di gubuk tersebut hingga masa haidnya selesai baru
diperkenankan kembali ke rumah. Di perkampungan suku Naulu yang telah
dibina Depsos maupun pihak yayasan di Seram bagian selatan terutama di
pemukiman Rohua, Bonara dan Simaoluw, tradisi mengasingkan diri di gubuk
pamali ini masih tetap dipertahankan.
Khusus bagi kaum wanita yang hendak melahirkan biasanya diantar keluarga
ke gubuk Pamali tersebut, kemudian saat persalinan ditolong dukun
beranak, sedangkan pusar bayi dipotong dengan sembilu (kulit bambu yang
cukup tajam). Anehnya, penggunaan sembilu yang beresiko itu dapat
diatasi oleh dukun beranak. Perawatan sang ibu yang baru melahirkan
termasuk pengobatan pusar bayi umumnya dilakukan dengan menggunakan
bahan ramuan tradisional.
Usai masa melahirkan dan perawatan di gubuk pamali, sekitar dua minggu
sang ibu bersama anaknya sudah bisa keluar gubuk untuk mandi di kali,
sedangkan pihak keluarga dan sang dukun (biang) harus berpuasa selama
sehari sebelum menerima sang istri dan buah hati saat kembali pulang ke
rumah.
Saat kembali ke rumah mereka diterima secara adat dalam suasana sukacita
dengan sajian makanan yang disiapkan dari pihak keluarga perempuan
untuk disantap bersama warga suku setempat. Beberapa hari kemudian pihak
keluarga lelaki juga melakukan hal serupa sebagai jamuan balasan kepada
pihak keluarga perempuan bersama masyarakat setempat untuk dinikmati
bersama sebagai ungkapan syukur.
Sejauh ini tidak ada yang melanggar tradisi adat tersebut. Sanksi bagi
pelanggarnya akan dikucilkan dari masyarakat adat setempat dan juga
dikenakan denda berupa pembayaran piring tua dan kain berang (merah)
bagi kaum perempuan. Kepatuhan masyarakat terasing Naulu, Hoaulu,
Yalahatan serta kelompok masyarakat terasing lainnya di pulau Seram
kepada adat yang diwariskan tidak bisa dipisahkan dengan adat istiadat
dan budaya suku Alifuru yang mendiami pulau Seram. Kelompok suku Rohua
dan Bonara berdasarkan kisah tua adat setempat awalnya berasal dari
pedalaman pulau Seram, sekitar hulu sungai Sapalewa (Sekarang Seram
Bagian Barat) salah satu sungai terbesar di pulau Seram.
Gara-gara pemimpin adat dari suku ini beristri dua, sang istri pertama
dan anak cucunya memilih mengungsi ke perkampungan baru, selanjutnya
turun ke desa Rohua dan Bonara di wilayah Seram bagian selatan, sekitar
35 kilometer dari kota Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar